Sriwijaya adalah kedatuan bahari historis yang berasal dari Pulau Sumatra sekitar abad ke-6 sampai abad ke-12. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah Asia Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat). Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan vijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan"; dengan demikian, nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Lokasi ibukota Sriwijaya dalam rentang waktu enam abad berpindah-pindah, tetapi pada awalnya diketahui dekat dengan Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi. Sriwijaya terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
Sebelum abad ke-12, Sriwijaya merupakan negara berbasis darat daripada kekuatan maritim, armada laut memang tersedia tetapi bertindak sebagai dukungan logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat. Menanggapi perubahan ekonomi maritim Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, Sriwijaya mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut Sriwijaya bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut Sriwijaya merosot menjadi armada perompak.
Pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut akibat beberapa peperangan. Serangan besar pada tahun 1025 dilancarkan oleh pasukan Rajendra Chola I dari Koromandel. Setelah itu, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 oleh sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.