Desa adat merupakan unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus wilayah (hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat. Desa adat mempunyai penyebutan yang beragam di berbagai wilayah seperti nagari, huta, marga, dan negeri.
Dalam Narasi Mitos Dayeuh Lemah Kaputihan adalah mitos yang berkembang dalam masyarakat Jalawastu.[2] Secarara garis besar narasi mitos Lemah Kaputihan adalah sebagai berikut; Dahulu ada seorang pengembara sakti bernama Ragawijaya, bertapa di Gunung Sagara (Gunung Kumbang), tempat dia bertapa adalah di Gedong Sirap. Ragawijaya bertapa untuk meningkatkan kesaktian ilmunya.
Saat Ragawijaya bertapa dan ilmunya semakin tinggi, saat itu Batara Windu Buana merasa sudah waktunya memberi Ragawijaya pusaka. Kemudian Batara Windu Buana menyuruh Guriang Pantus untuk memberikan pusaka mempersembahkannya kepada Ragawijaya. Pusaka tersebut berupa tiga buah guci.
Guci tersebut adalah Guci Belanda, Cina dan Guci Sunda / Jawa. Setelah mendapat pusaka tersebut, maka Ragawijaya harus tinggal ditempat tersebut karena telah terhubung dengan Batara Windu Buana. Ragawijaya disuruh turun dari Gunung Sagara karena tempat tersebut merupakan tempat tinggal para dewa. Setelah turun, kemudian Ragawijaya membuat tinggal di Pasarean Gedong Petilasan.
Ia mengetahui bahwa Gunung Sagara dan Pasarean Gedong merupakan tanah Lemah Kaputihan yang artinya tanah tersebut merupakan tanah suci tempat tinggal para dewa dan wali, sehingga tidak boleh bersikap dan berperilaku kotor karena yang diucapkan menjadi nyata. Tantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh memakai genteng, batu-bata dan semen, tidak boleh menanam bawang dan kacang tanah, dan tidak boleh naik angsa, kerbau dan kambing.